Pemberontakan dan Anti Kemapanan.
“Wah, engkau sudah jatuh dari langit, hai Bintang Timur, putera
Fajar,
engkau sudah dipecahkan dan jatuh ke bumi, hai yang mengalahkan bangsa-bangsa!
Engkau yang tadinya berkata dalam hatimu: Aku
hendak naik ke langit, aku hendak mendirikan tahtaku mengatasi
bintang-bintang Allah, dan aku hendak duduk di atas bukit pertemuan,
jauh di sebelah utara. Aku hendak naik mengatasi ketinggian
awan-awan, hendak menyamai Yang Mahatinggi!
Sebaliknya, ke dalam dunia orang mati engkau diturunkan,
ke tempat yang paling dalam di liang kubur.” (Yes. 14:12-15)
Cuplikan ayat dari kitab Yesaya di atas menggambarkan kejatuhan
malaikat terang yang kemudian dikenal sebagai Lucifer sebagai asal mula
munculnya iblis dalam tata ciptaan Tuhan. Dalam teologi Yudeo-Kristian, Tuhan
yang Maha Baik tidak mungkin menciptakan iblis sejak semula. Tuhan hanya
menciptakan para malaikat. Ini berbeda kontras dengan teologi Islam yang
mengatakan bahwa iblis diciptakan dari api, dengan demikian Islam mengakui
bahwa Tuhan sendirilah yang menciptakan iblis. Atau dengan kata lain Tuhan
sendiri yang telah menciptakan sumber segala kejahatan.
Lucifer berasal dari bahasa latin Lux Fere – Pembawa Cahaya.
Lucifer adalah malaikat yang paling cemerlang diantara semua malaikat ciptaan
Tuhan. Tapi justru karena kecemerlangannya itu ia menganggap dirinya setara
dengan Tuhan dan mulai mengajak malaikat lain untuk tidak lagi taat kepada
Tuhan. Pemberontakan para malaikat ini digagalkan oleh malaikat-malaikat yang
setia kepada Tuhan di bawah pimpinan malaikat agung Mikael (yang artinya “Siapa
seperti Tuhan”), sehingga akhirnya para malaikat pemberontak ini menjadi iblis
dan di buang dari surga.
Ada sebuah kenyataan yang sangat menarik disini dan dapat kita jadikan
sebagai titik pandang untuk membedakan karya Tuhan dan karya Iblis. Dalam
membangun keseluruhan tata-ciptaan, yang dilakukan Tuhan adalah
menyelenggarakan harmoni, keteraturan, ketaatan, kemapanan dalam kebebasan
penuh. Sebaliknya iblis melakukan ketidaktaatan, pemberontakan dan merancang
kekacauan serta ketidakteraturan. Semangat ketaatan dan kemapanan berasal dari
Tuhan, sebaliknya semangat pemberontakan dan ketidakteraturan adalah berasal
dari iblis. Jika kita memahami dua sifat yang berbeda ini kita akan memahami
mana sesungguhnya karya-karya Tuhan dan mana yang bukan.
Kejatuhan Manusia
Dalam hal kejatuhannya, Lucifer dan para iblis sama sekali tidak
menerima kenyataan pahit ini. Sekalipun mereka telah kalah oleh para malaikat
yang setia, iblis masih berusaha menunjukkan dirinya mampu mengalahkan Tuhan.
Iblis melihat kesempatan itu sangat terbuka lebar dengan jalan merampas ciptaan
Tuhan yang paling sempurna: manusia.
Manusia adalah ciptaan Tuhan yang sempurna karena diciptakan
sesuai dengan citra Tuhan sendiri. Iblis dalam kedengkiannya beranggapan dengan
menghancurkan citra Tuhan berarti ia berhasil menunjukkan bahwa Tuhan telah
gagal: citra Tuhan sudah takluk sepenuhnya pada iblis.
Kesempatan untuk menghancurkan manusia akhirnya muncul saat
iblis membujuk Adam dan Hawa untuk melanggar perintah Tuhan dengan memakan buah
pengetahuan. Iblis melakukannya dengan cara-cara yang menjadi ciri iblis yakni
dengan memfitnah dan menipu. Iblis memfitnah Tuhan dengan mengatakan pada
mereka bahwa perkataan Tuhan tentang buah pengetahuan sama sekali tidak benar,
perkataan iblislah yang benar. Iblis juga menipu mereka dengan mengatakan bahwa
dengan makan buah pengetahuan mereka akan bisa menjadi seperti Tuhan. Adam
terkena tipu daya iblis, dia mulai memberontak dan tidak taat lagi terhadap
Tuhan.
Akibat dari tipu daya iblis dan ketidaktaatannya pada Tuhan,
manusia akhirnya kehilangan martabatnya sebagai citra Tuhan dan harus di usir
dari taman Eden (Firdaus). Inilah dosa asal yang terus-menerus menjadi bagian
dari peradaban manusia sampai akhirnya (menurut kristianitas) nanti dipulihkan
kembali oleh Yesus Kristus melalui penebusan.
Teologi Islam memandang kejatuhan ini jauh berbeda, seolah-olah
ini sekedar dosa biasa yang cukup diselesaikan dengan permohonan ampun. Islam
tidak menyadari konsekuensi yang amat mendasar dari kejatuhan manusia-manusia
pertama ini sehingga Islam menolak ide-ide tentang dosa asal. Padahal
konsekuensi dari dosa ini amat besar: manusia kehilangan martabatnya sebagai
citra Tuhan dan sekaligus kehilangan kehidupan yang damai, manusia mulai hidup
dalam kesusahan dan jatuh ke dalam dosa-dosa.
Pemulihan Kembali
Kejatuhan manusia tentu saja tidak dikehendaki Tuhan. Tuhan yang
sangat mengasihi manusia membangun rencana untuk menyelamatkan manusia dari
kehancurannya. Tuhan ingin memulihkan kembali kehidupan damai yang pernah
dialami manusia, dan lebih dari itu Tuhan ingin memulihkan martabat manusia
kembali menjadi citra Tuhan.
Tuhan memulai rencana keselamatan manusia dengan memilih Abraham
dan keturunanNya sebagai pembawa berkat bagi seluruh bangsa. Ada polemik yang
cukup sengit, terutama dari kalangan islam, apakah keturunan Abraham itu juga
mencakup Ismael. Tapi dalam Kitab Suci sudah cukup jelas bahwa yang disebut
sebagai keturunan Abraham adalah yang berasal dari Ishak, bukan Ismael.
Sehingga bangsa terpilih yang akan menjadi berkat bagi bangsa-bangsa itu
berasal dari keturunan Israel, bukan dari yang lain. Dan ini didukung oleh
kenyataan sejarah bahwa nabi-nabi memang muncul dari keturunan Ishak, bukan
yang lain. Manusia bisa saja berpolemik, tapi sejarah sudah menunjukkan
kebenaran dengan caranya sendiri.
Kenyataan sejarah menunjukkan bahwa rencana keselamatan itu
bergulir melalui rentang waktu ribuan tahun, mulai dari Abraham, Ishak, Yakub.
Kemudian Yusuf yang membawa orang Israel menetap di Mesir. Di Mesir sepeninggal
Yusuf bangsa Israel ini diperbudak oleh penguasa Mesir sebelum akhirnya 400
tahun kemudian dibebaskan oleh Musa dan dibawa menuju tanah terjanji di wilayah
Kanaan.
Pada periode Musa inilah Tuhan memberikan salah satu berkatNya
yang penting bagi umat manusia, yaitu hukum-hukum Taurat (termasuk dekalog, 10
perintah Tuhan). Tunggu, bukankah Hukum Taurat hanya untuk bangsa Israel?
Tampaknya demikian, tapi jika kita mengingat kembali perjanjian Tuhan dengan
Abraham maka akan tampak bahwa apa yang diberikan untuk bangsa Israel
sesungguhnya ditujukan untuk semua bangsa. Itu pemberian yang bersifat
universal, dan bangsa Israel hanyalah sarana, bukan tujuan dari pemberian
hukum-hukum itu.
Sejarah keselamatan terus bergulir melalui jaman dimana Daud
menjadi Raja Israel yang terbesar dan di susul oleh pembangunan Bait Allah di
Yerusalem oleh Salomo. Kemudian muncul masa dimana Kerajaan Israel terpecah dan
ditaklukkan bangsa-bangsa lain, mengalami pembuangan, sebelum akhirnya kembali
lagi. Selama masa-masa itu Tuhan terbukti terus memberikan berkatNya berupa
Sabda dan hukum-hukumNya melalui para nabi-nabi Israel. Dan lebih dari itu
Tuhan juga menjanjikan kedatangan Sang Mesias yang akan menjadi berkat
pamungkas bagi seluruh manusia.
Dari Israel Menjadi Berkat Untuk Semua Bangsa
Setelah melalui penantian dan persiapan yang panjang, akhirnya
berkat pamungkas itu muncul berupa inkarnasi Tuhan sendiri dalam diri Yesus
Kristus. Tak ada berkat dan pemberian Tuhan yang lebih besar dan lebih baik
dari DiriNya sendiri. Inilah Sabda Tuhan yang menjadi daging, sabda yang akan
memulihkan kehidupan damai seperti yang semula dirancang Tuhan bagi manusia.
Dan yang terpenting, inkarnasi Yesus akan memulihkan kembali martabat manusia
sebagai citra Tuhan. Melalui ajaranNya dan melihat teladan kehidupan Yesus
manusia dapat menyadari betapa manusia memang dapat hidup sempurna seperti
Tuhan dan manusia memang sungguh-sungguh citra Tuhan sendiri. Melalui kematian
di kayu salib Yesus telah menebus dosa-dosa manusia memulihkan martabatnya
(yang hilang sejak dosa Adam) sebagai citra Tuhan.
Setelah hadirnya Yesus, sejarah keselamatan manusia memasuki
babak yang baru. Berkat Tuhan yang tadinya secara eksklusif hadir dalam sejarah
bangsa Israel sekarang mulai menyebar dan dibagikan kepada bangsa-bangsa lain
melalui sarana yang baru, keturunan Abraham menurut roh, yaitu Gereja. Yesus
sendiri telah memberikan pengutusan sakral: “…Pergilah, jadikanlah semua bangsa
muridKu…” Gereja yang SATU dan SAMA yang dimulai dari para rasul dan
dilanjutkan oleh para paus dan uskup terus dengan setia mengemban misi suci
yang diamanatkan oleh Sang Penebus hingga hari ini.
Hadirnya Gereja sampai detik ini membuktikan satu hal penting:
dengan caranya yang ajaib karya keselamatan Tuhan terus hadir sejak jaman
Abraham hingga Paus Benediktus XVI tanpa pernah terputus. Inilah Agama
Universal yang menjadi berkat keselamatan bagi seluruh manusia. Pada akhirnya
Agama Universal akan menghadirkan kembali suatu tatanan damai dan memulihkan
kembali martabat kemanusiaan menjadi citra Tuhan di akhir jaman.
Rancangan Para Penipu Dan Pemberontak
Seperti yang saya tulis sebelumnya, bagi iblis kehancuran
manusia adalah keberhasilannya. Meskipun dia tidak mampu mengalahkan Tuhan,
setidaknya ia berhasil menghancurkan karya terbaik Tuhan. Ketika Tuhan
menjalankan rencana keselamatan untuk memulihkan kembali manusia tentu saja
iblis tidak tinggal diam. Iblis ingin menghancurkan Agama Universal yang telah
dirancang dan dibentuk Tuhan sejak jaman Abraham.
Berbagai cara terus dilakukan iblis, mulai dari upaya
penghancuran bangsa Israel, pembusukan dari dalam dan upaya menyesatkan
orang-orang pilihan terus dilakukan. Tapi rancangan Tuhan tetap berjalan dengan
lancar hingga akhirnya sampai pada puncak karya keselamatan dengan hadirnya
Yesus Sang Penebus. Kehadiran Yesus dan kematianNya di kayu salib merupakan
kekalahan telak iblis.
Dan seperti kekalahan sebelumnya, iblis tidak mau terima dan ia
bertekad untuk mengacaukan Agama Universal ini. Iblispun akan menggunakan
cara-cara klasiknya yang dulu pernah berhasil menjatuhkan Adam: penipuan dan
pemberontakan. Memang iblis adalah bapa segala dusta dan akar segala
pemberontakan.
Iblis berusaha menghancurkan Agama Universal dalam dua cara,
dari dalam dan dari luar. Upaya dari dalam dilakukannya dengan menebarkan
bibit-bibit perpecahan di antara umat beriman. Bibit maut paling penting yang
disebarkannya adalah penyangkalan ketuhanan Yesus. Ini bukan tanpa alasan….
Bagi Agama Universal, ketuhanan Yesus adalah fondasi yang menjadi dasar bagi
seluruh ajarannya. Dengan penyangkalan ketuhanan Yesus berarti seluruh ajaran
Gereja akan kehilangan dasar-dasarnya dan keruntuhannya tinggal menunggu waktu.
Momen penting penyesatan dan perpecahan ini terjadi pada abad ke
4 ketika uskup jenius bernama Arius atas bisikan iblis mulai mengembangkan dan
mengajarkan teologi yang menolak ketuhanan Yesus. Seperti sewaktu menipu Adam,
iblis juga menipu Arius sedemikian rupa sehingga Arius percaya bahwa apa yang
diajarkan para rasul itu salah dan dia harus mengajarkan konsep yang baru.
Karena kejeniusannya dan dukungan yang diberikan oleh kerajaan
Romawi waktu itu, nyaris 90 persen uskup-uskup berhasil dipengaruhi oleh
pandangan Arius. Sampai akhirnya muncul seorang pendekar trinitarian yang tidak
kalah jeniusnya bernama Athanasius. Dengan kegigihan dan kecerdasan yang luar
biasa ia berhasil meyakinkan kembali para uskup yang pernah dipengaruhi oleh
Arius untuk kembali pada ajaran yang diajarkan oleh para rasul. Ujung-ujungnya
usaha busuk Arius untuk menyangkal ketuhanan Yesus gagal total dan pada konsili
Nicea seluruh Gereja kembali pada ajaran para rasul hingga hari ini. Iblis
lagi-lagi kalah telak….
Tapi sekali lagi iblis tetaplah iblis, dia tidak mau menerima
kekalahan ini dan masih berusaha keras. Arius boleh saja gagal, tapi iblis
belum mengibarkan bendera putih. Keukeuh dan pantang menyerah…. Soal semangat
dan kegigihan, iblis memang patut diacungi jempol.
Cara lain yang ditempuh iblis adalah dengan menghancurkan dari
luar. Sampai di sini saya harus ekstra hati-hati karena sudah masuk ke wilayah
yang sensitif dan bisa membakar emosi. Tapi bagaimanapun kebenaran harus
diungkapkan sekalipun pahit….
Dalam upayanya kali ini iblis masih tetap dengan tema besarnya
yang semula: penyangkalan ketuhanan Yesus. Strategi mautnya adalah dengan
membangun agama tandingan yang akan menggantikan Agama Universal. Agama ini
juga nantinya akan diberi label seolah-olah agama universal, ‘rahmatan lil
alamin”, rahmat bagi seluruh alam semesta. Untuk itu dipilihlah keturunan
Abraham dari Ismael, seorang bangsa arab bernama Muhamat menjadi tokoh kunci
dari rencana busuk ini. Alasannya jelas: setidaknya Islam punya kesempatan
untuk mendapat legitimasi sebagai bagian dari agama keturunan Abraham juga.
Tidak masalah kalau di Kitab Suci sebelumnya sudah disebutkan bahwa keturunan
Abraham adalah yang berasal dari Ishak bukan Ismael, yang penting kalau
terus-menerus dipromosikan (didakwahkan) dengan agresif lama-lama orang juga
percaya. Seperti kata Hitler, “Ceritakanlah kebohongan, dan ceritakanlah itu
terus-menerus maka kebohongan itu akan menjadi kebenaran”.
Sama seperti yang dilakukan pada Adam dan juga Arius, iblis
menipu Muhamat dengan mengatakan bahwa ajaran Tuhan keliru atau sudah diselewengkan
dan Muhamat diutus untuk ‘meluruskan’ kekeliruan itu. Lebih jauh lagi, umat
manusia akan mendapatkan kitab suci yang ‘asli’ yang berisi wahyu ‘Tuhan’ yang
sesungguhnya. Dan akhirnya lahirlah Islam dengan Alquran yang lengkap dengan
penyangkalannya akan ketuhanan Yesus. Untuk lebih menyempurnakan fitnahnya
Islam mencomot ajaran-ajaran para nabi sebelumnya sehingga dapat mengklaim
dirinya sebagai pembawa dan pelurus seluruh ajaran para nabi, sekaligus penutup
seluruh rangkaian kitab suci.
Jadi sesungguhnya kemunculan Islam berawal dari fitnah terhadap
ajaran Kitab Suci, karena tudingan pemalsuan dan penyelewengan yang terjadi
pada Kitab Suci sama sekali tidak diikuti dengan bukti. Perlu diingat bahwa
Yesus tidak pernah berbicara dan mengeluh, soal adanya penyelewengan pada
kitab-kitab Taurat. Artinya, sampai dengan jaman Yesus kitab-kitab Taurat yang
ada adalah benar dan tidak diselewengkan isinya. Dan ternyata memang tidak
pernah ada bukti bahwa isi kitab-kitab Taurat yang ada pada jaman Yesus berbeda
dengan isi kitab-kitab Taurat yang ada pada masa sesudahnya, bahkan sampai
sekarang. Jadi dimana letak pemalsuan dan penyelewengannya? Ini sudah cukup
membuktikan bahwa isu penyelewengan Kitab Suci yang disebarkan Muhamat dan
Alquran hanya sekedar fitnah yang dilakukan untuk mendapatkan legitimasi bagi
kehadiran Alquran. Ironis memang, Islam ternyata bukan agama yang dilandasi
oleh kebenaran tapi justru oleh kebohongan dan fitnah.
Sebetulnya kalau kita memakai akal sehat, kita tidak perlu
termakan isu penyimpangan dan penyelewengan semacam ini. Bayangkan, Agama
Universal yang dibangun Tuhan sendiri selama ribuan tahun apa mungkin dengan
mudah diselewengkan begitu saja oleh manusia? Biasanya kalangan Islam selalu
mengkambinghitamkan Paulus sebagai penyeleweng Agama Universal. Pertanyaannya:
apakah Paulus mampu menghancurkan Agama Universal yang dibangun Tuhan selama
ribuan tahun? Akal sehat kita akan mengatakan tidak mungkin, terkecuali Paulus
itu lebih hebat dari Tuhan. Ketidakmungkinan ini ditambah lagi dengan fakta
bahwa Paulus bukanlah kepala Gereja dan pimpinan para rasul. Jika Paulus
melakukan penyelewengan dari apa yang diajarkan Yesus, dengan sangat mudah
Petrus dan rasul lainnya akan membuang ajaran-ajaran Paulus.
Orang bisa saja beropini bahwa Islam membawa kebenaran. Tapi
sejujurnya kalau anda memeriksa seluruh ajaran Islam, tidak ada kebenaran baru
yang dibawa oleh Islam yang tidak ada di Agama Universal. Jadi munculnya Islam
di muka bumi sama sekali tidak diperlukan. Hal baru yang sebenarnya dan misi
utama dari munculnya Islam adalah penyangkalan ketuhanan Yesus. Persis seperti
ide yang muncul dalam benak Arius, sehingga kemungkinan besar ide ini juga
berasal dari sumber yang sama.
Selebihnya semua ajaran kebaikan yang ada dalam Islam sudah ada
dalam Agama Universal, malah Islam menampilkannya dengan mutu yang jauh di
bawah standar seperti perkawinan yang kembali ke jaman pra-kristen,
ditegakkannya kembali hukum Taurat dalam bentuk yang lebih kejam seperti
pemotongan tangan, hukum rajam, penggunaan kekerasan dalam penyebaran agama,
dan sebagainya. Lebih dari itu Islam sesungguhnya tidak memiliki konsep ajaran
yang jelas, lihat saja sistematika penyusunan Alquran yang begitu berantakan
berupa kumpulan ajaran, cerita, perintah-perintah tanpa arah yang jelas.
Bagaimana mungkin ajaran semacam ini mau menjadi ‘rahmatan lil alamin’? Jawaban
yang paling logis, memang bukan itu tujuan dari Islam yang sebenarnya.
Jika kita melihat bahwa Agama Universal dibangun dalam sejarah
yang panjang dan konsisten, mulai dari jaman Perjanjian Lama hingga jaman
Perjanjian Baru dan berhasil membentuk satu kesatuan ajaran yang utuh, maka
kemunculan Islam yang mengklaim sebagai agama yang berasal dari Tuhan adalah
suatu anomali dan sama sekali tidak perlu. Seluruh ajaran Agama Universal sudah
tergenapi dengan kehadiran Yesus, dan suatu tatanan yang akan membawa manusia
menuju era baru yang penuh kedamaian sedang berproses. Maka dapat disimpulkan
bahwa munculnya Islam hanyalah upaya untuk menggagalkan misi Agama Universal,
tidak lain dan tidak lebih. Dengan kata lain Islam adalah antitesis dari Agama
Universal, Islam adalah bagian dari pemberontakan iblis terhadap Tuhan.
Untungnya sejarah sudah menunjukkan bahwa upaya pemberontakan
iblis pada akhirnya akan gagal, termasuk juga antitesis agama yang dibangunnya
ini akan menemui takdir yang sama: gagal total.
Tetapi sekalipun kami atau
seorang malaikat dari sorga yang memberitakan
kepada kamu suatu injil yang berbeda dengan
Injil yang telah kami beritakan kepadamu,
terkutuklah dia.
( Gal.1:8 )
Setiap agama memiliki kitab sucinya masing-masing yang menjadi
dasar dari ajarannya. Hindu memiliki kitab Veda yang merupakan kumpulan dari
pengetahuan spiritual bangsa Arya selama berabad-abad dan kemudian dikumpulkan
oleh Rsi Vyasa. Agama Budha memiliki Tripitaka yang merupakan kumpulan
perkataan-perkataan Sang Budha yang dikumpulkan dan dikodifikasi oleh para
bhiksu pengikutnya beberapa abad setelah kematian Sang Budha. Agama Yahudi
memiliki kumpulan kitab-kitab Taurat, kitab Mazmur, kitab-kitab para nabi,
kitab sejarah dan berbagai kitab kebijaksanaan yang muncul dalam perjalanan
panjang sejarah bangsa Yahudi. Kristianitas memiliki kitab-kitab Perjanjian
Lama (kitab-kitab Yahudi) dan Perjanjian Baru (Injil dan tulisan-tulisan para
rasul). Dan tentu saja tidak mau ketinggalan, Islam juga memiliki Alquran yang
dipercaya sebagai sabda Tuhan yang turunkan pada Muhamat melalui perantaraan
malaikat Gabriel.
Untuk mencegah pembahasan yang terlalu luas dan kehilangan fokus
saya tidak akan membahas mengenai kitab-kitab Hindu dan Budha, cukuplah kalau
saya katakan kitab-kitab itu berisi ajaran-ajaran mulia yang berupaya
mengajarkan manusia untuk meraih kebenaran.
Alquran, Kitab Suci Pamungkas?
Kerap kita dengar, bahkan mungkin sejak jaman sekolah dulu, bahwa
Islam adalah agama terakhir yang muncul dari rangkaian agama wahyu yang berasal
dari keturunan Abraham. Tampaknya logika ini masuk akal karena memang Islam
baru muncul pada abad ke 6 setelah kemunculan kristianitas yang menjadi penerus
Yahudi. Seolah seperti mengikuti pola kristianitas yang mengklaim sebagai
kelanjutan dan penggenap (penyempurna) ajaran yang diterima bangsa Yahudi,
Islampun mengklaim dirinya sebagai penggenap dan penyempurna seluruh rangkaian
ajaran agama yang diturunkan para nabi sebelumnya.
Salah satu klaim bombastis Islam adalah kebanggaan Islam atas
kemurnian Alquran yang konon tidak mengandung perubahan sejak awal tersusunnya
sampai pada detik ini. Tapi sebenarnya hal ini masih dapat mengundang
perdebatan karena kitab Alquran yang kita kenal sekarang ini ternyata usianya
belum melampaui satu abad. Alquran ini adalah Alquran edisi Mesir yang dicetak
1924, salah satu diantara beberapa versi Alquran yang beredar di kalangan
muslim. Dengan bantuan dana dari Kerajaan Arab Saudi, edisi ini kemudian
dicetak besar-besaran dan membanjiri dunia sehingga keberadaan edisi-edisi lain
menjadi terpinggirkan dan akhirnya dunia hanya mengenal edisi ini sebagai
satu-satunya Alquran yang ada. Jadi klaim kemurnian Alquran sebenarnya masih
dapat dipertanyakan dan bukti adanya beberapa versi Alquran cukup melemahkan
klaim tersebut.
Tapi saya tidak akan mempermasalahkan ini, ada hal lain yang
lebih mendasar yang nantinya akan menunjukkan apakah Alquran ini memang
sungguh-sungguh kitab suci yang berasal dari Tuhan ataukah sebaliknya.
Kenyataannya, disini ada dua klaim yang saling berhadap-hadapan.
Bagi kristianitas, Kitab Suci (PL & PB) adalah Sabda Tuhan yang benar dan
otentik, sebaliknya bagi Islam justru Alquranlah yang merupakan Sabda Tuhan
yang benar dan otentik serta menjadi pelurus atau penyempurna semua kitab-kitab
para nabi sebelumnya. Dan ironisnya kedua klaim ini saling menegasikan satu
sama lain, artinya jika klaim kristianitas yang benar maka kehadiran Alquran
sama sekali tidak diperlukan. Sebaliknya kalau klaim Islam yang benar maka
Alkitab juga harus ditinggalkan umatnya untuk beralih ke Alquran. Dengan cara
apapun tidak mungkin kedua klaim ini sama benarnya.
Superioritas Kitab Suci
Tapi tentu saja tidak bijaksana kalau menggugat klaim pihak lain
hanya berdasarkan klaim sepihak, itu hanya akan menjadi perbantahan yang tidak
ada habisnya (“your words againts my words”). Harus ada suatu kriteria yang
setidaknya dapat menjadi tolok ukur yang dapat membedakan mana kitab suci yang
benar/otentik dan mana yang palsu.
Dari sekian banyak upaya untuk mengatasi permasalahan ini saya
belum melihat adalanya kriteria yang cukup tegas yang dapat dipakai untuk
membedakan mana kitab suci buatan Tuhan dan mana yang bukan. Padahal secara
logika jika benar sebuah kitab suci itu berasal dari Tuhan sebagaimana
dipercaya pendukungnya, tentunya kitab suci itu akan memiliki superioritas yang
tak tertandingi oleh kitab-kitab manapun yang tidak dibuat oleh Tuhan. Sampai
disini saya kira anda semua akan setuju dengan saya.
Seandainya saja kita bisa menemukan kriteria ini (dan bisa
sepakat), maka perdebatan mengenai Kitab Suci sudah bisa diakhiri. Manusia
tidak lagi perlu berdebat mengenai kitab suci mana yang benar tapi mulai ke
tahap yang lebih produktif: bagaimana memahami dan mengaplikasikan ajaran kitab
Suci untuk membangun peradaban manusia yang lebih baik.
Saya percaya jika suatu kitab suci itu sungguh-sungguh berasal
dari Tuhan, tentunya kitab itu memiliki unsur yang tidak tertandingi oleh kitab-kitab
lain. Karena unsur ini tidak tertandingi, dapat saya katakan bahwa unsur ini
tentunya hanya dapat dibuat oleh Tuhan sendiri. Adakah unsur semacam itu dalam
Alkitab atau Alquran? Ini adalah sebuah tantangan yang obyektif dan akan
memberikan hasil yang obyektif juga.
Klaim Otentisitas Alquran
Beberapa upaya sudah ditunjukkan kaum muslim untuk
memperlihatkan superioritas Alquran dibandingkan kitab-kitab suci lainnya.
Salah satunya adalah unsur kemurnian Alquran yang diklaim sebagai tetap utuh
tanpa perubahan sejak disusun pertama kali. Tapi seperti yang saya tulis di
atas, dengan melihat realita yang ada klaim ini nampaknya kurang kuat. Lagipula
ini bukan kriteria yang utama yang bisa menenunjukkan otentisitas Alquran
sebagai kitab suci yang berasal dari Tuhan. Bahkan sekalipun klaim ini benar,
artinya Alquran yang sekarang itu sama persis isinya dengan Alquran yang
pertama kali ada di muka bumi, ini sama sekali tidak berarti apa-apa.
Uang palsu yang dicetak 1500 tahun yang lalu dan berhasil
ditemukan di jaman ini, tetaplah uang palsu. Sejarah yang panjang dan
keasliannya (sebagai uang palsu kuno) tidak bisa membuatnya menjadi uang asli.
Mungkin benda tersebut menjadi uang palsu yang bernilai sejarah, tapi tidak
pernah menjadi uang asli. Paling-paling itu akan menjadi penemuan bersejarah
yang menunjukkan bahwa 1500 tahun yang lalu uang palsu sudah mulai dibuat oleh
manusia!
Demikian juga dengan Alquran! Seandainya alquran itu bukan
berasal dari sabda Tuhan, sekalipun isinya tetap sama dan tidak ada yang
berubah dari jaman ke jaman hal itu tidak membuatnya menjadi kitab suci yang
otentik dan berasal dari Tuhan. Jadi maaf, kita harus mencari kriteria yang
lain. Kerepotan ahli-ahli sejarah Islam untuk membuktikan keotentikan bentuk
Alquran menjadi sia-sia dan tidak sanggup memberikan pertolongan apapun. Islam
bisa saja mengklaim keaslian bentuk, tapi soal keotentikan isinya sebagai Sabda
Tuhan masih perlu dipertanyakan.
Klaim Alquran Mencakup Ajaran Semua Nabi
Kriteria lain yang juga sering dikemukakan oleh ahli-ahli dan
ulama-ulama islam untuk menunjukkan superioritas Alquran adalah klaim soal isi
Alquran yang mencakup ajaran ‘semua’ nabi-nabi mulai dari Adam, Nuh, Abraham,
Musa, Daud, hingga Yesus. Tapi studi mengenai isi Alquran menunjukkan bahwa
kisah-kisah Alquran yang berkaitan dengan nabi-nabi dan tokoh-tokoh dalam
tradisi Yudeo-Kristian merupakan adaptasi dan kompilasi yang berselera rendah
dari teks-teks kitab-kitab Yahudi dan Injil-injil (baik yang kanonik maupun apokrif)
ditambah cerita-cerita rakyat yang ada dalam Talmud Yahudi.
Kitab kompilasi semacam ini tidak otomatis menjadi lebih lengkap
dari kitab sebelumnya. Ironisnya justru banyak ajaran-ajaran para nabi yang
‘hilang’, dimutilasi, dan ditambah-tambah sesuai selera dan pengetahuan
Muhamat. Kalau anda membaca sendiri kisah-kisah Abraham, Musa, Daud, atau
bahkan Yesus dalam Alkitab, lalu anda membaca kisah tentang tokoh yang sama
dalam Alquran anda akan langsung bisa merasakan sendiri bedanya.
Bagaimana rasanya membaca kisah-kisah Musa yang diceritakan
bangsa Israel sendiri melalui tokoh-tokoh yang mengenal betul Musa berdasarkan
tradisi lisan bangsanya sendiri DIBANDINGKAN dengan mendengarkan kisah serupa
yang diceritakan seorang Muhamat yang hidup ribuan tahun setelah Musa dan tidak
memiliki kedekatan tradisi apapun dengan Musa? Mana yang anda anggap lebih
layak untuk didengarkan?
Bagaimana rasanya mendengarkan kisah hidup dan ajaran Yesus dari
kitab-kitab yang ditulis oleh saksi mata dan orang-orang yang hidupnya begitu
dekat dengan Yesus sendiri DIBANDINGKAN dengan mengenal Yesus dari uraian
seorang Muhamat yang hidup 5 abad setelah Yesus dan secara geografis berada
jauh dari tanah Palestina yang kemungkinan besar hanya mengetahui kisah Yesus
dari cerita-cerita atau kabar burung? Mana yang anda anggap lebih kredibel dan
layak dipercaya? Gunakan akal sehat anda untuk menjawab pertanyaan sederhana
ini!
Membaca dan percaya pada kisah-kisah tokoh-tokoh Alkitab yang
diceritakan oleh Alquran sama menggelikannya seperti percaya kisah tentang
Sukarno berdasarkan dongengan rejim order baru. Tidak kredibel dan penuh
manipulasi! Percaya bahwa Alquran mengandung ajaran-ajaran yang paling otentik
dan benar dari nabi-nabi tersebut sama absurdnya dengan percaya bahwa Reog Ponorogo
dan seni batik adalah kebudayaan milik Malaysia!
Tunggu dulu, Alquran bukan karangan Muhamat tapi wahyu Tuhan
yang disampaikan melalui malaikat Gabriel! Ya, betul begitu menurut klaim
Islam. Tapi bukankah klaim itu yang justru akan dibuktikan disini? Oleh
karenanya klaim itu tidak bisa dipakai sebagai fakta.
Klaim-klaim Lainnya
Klaim lain yang cukup populer adalah kandungan ‘fakta-fakta’
sains dan ilmu pengetahuan yang konon ada dalam Alquran. Kaum muslim mengklaim
banyak sekali fakta-fakta yang ditulis dalam Alquran yang baru diketahui
kebenarannya jaman sekarang setelah manusia memiliki kemajuan dalam sains dan
teknologi. Dengan dalih itu mereka mengatakan bahwa Alquran tidak mungkin
dibuat oleh Muhamat. Soal ini masih banyak mengundang perdebatan karena banyak
ilmuwan dan ahli justru menemukan fakta yang berlawanan dengan klaim Islam.
Tapi sekalipun benar bahwa ‘fakta-fakta ilmiah’ semacam itu tidak mungkin
diketahui Muhamat sendiri, hal itu tidak langsung berarti bahwa Alquran berasal
dari Tuhan, bisa saja berasal dari kekuatan dan sumber adikodrati /
supranatural lain.
Ada lagi klaim superioritas Alquran yang secara eksplisit
diungkapkan dalam Alquran yaitu tantangan dari Alquran untuk membuat ayat-ayat
yang lebih baik dari Alquran. Tantangan ini sebenarnya begitu relatif dan
subyetif sekali, tidak bisa menjadi tolok ukur superioritas Alquran. Saya
pribadi akan menempatkan ‘Sabda Di Bukit’ sebagai ayat-ayat suci yang jauh
melampaui keindahan Alquran. Sementara itu ada juga yang berpendapat kalau
Kahlil Gibran menggubah puisi-puisi yang keindahannya melampaui ayat-ayat
Alquran. Dengan demikian tantangan Alquran itu sama sekali tidak ada artinya.
Masih banyak lagi kriteria-kriteria yang sering diajukan Islam
untuk menunjukkan superioritas Alquran, tapi tidak mungkin saya tuliskan
semuanya. Lagi pula pada intinya juga tidak memberikan hasil yang signifikan,
saya tidak melihat kriteria-kriteria tersebut mampu membuktikan Alquran sebagai
kitab suci yang otentik (sungguh-sungguh berasal dari Tuhan).
Sebuah Kriteria Obyektif
Sekarang saya akan mengajukan sebuah kriteria yang menurut
pendapat saya cukup obyektif. Sejauh ini saya belum melihat ada yang mengangkat
kriteria ini sebagai penanda otentisitas kitab suci. Padahal jika kriteria ini
dipahami dengan baik, anda kan bisa melihat perbedaan yang amat mencolok antara
kitab suci yang otentik dan tidak. Disini akan tampak bahwa kitab suci yang
otentik ternyata memiliki suatu unsur yang hanya dapat dibuat oleh Tuhan
sendiri. Setidaknya unsur ini tidak saya lihat dalam buku buatan manusia yang
manapun, bahkan sampai bumi ini musnah sekalipun saya yakin manusia tidak akan
pernah mampu membuat buku yang memiliki unsur semacam itu.
Sebenarnya kriteria ini sangat sederhana, mudah dipahami oleh
semua orang yang mau menggunakan akal sehatnya. Lagi pula kita sudah sering
menggunakan analoginya dalam banyak hal yang kita terima sebagai suatu
kebenaran faktual.
Saya mulai dengan sebuah pertanyaan sederhana, siapa yang
membangun Candi Borobudur? Jawabannya sederhana dan ada di buku-buku sejarah
atau di wikipedia: Raja Samaratungga. Siapa yang membangun Taj Mahal,
jawabannya juga mudah: Shah Jehan. Siapa yang membangun Menara Eiffel? Sejarah
mencatat: Gustave Eiffel. Jawaban ini diakui sebagai benar dan obyektif
meskipun ketiga orang ini mungkin tidak pernah bersusah-payah dan
berkotor-kotor meletakkan batu-batu ataupun tiang-tiang untuk mendirikan apa
yang nanti disebut sebagai karya besar mereka. Mereka mungkin hanya menggagas
dan merancang karya-karya tersebut tapi dunia telah mencatat merekalah yang
membangun mahakarya tersebut.
Dari sini saya harap anda mulai mengerti apa yang saya
maksudkan. Dengan analogi yang sama saya bisa mengatakan bahwa Alkitab (PB
& PL) adalah sungguh-sungguh ciptaan Tuhan. Sekalipun para penulis-penulisnya
adalah manusia yang menulis dengan cara-cara dan pemikiran yang tampak sangat
manusiawi, di balik semua itu ada Sang Pengarang Agung yang memberikan
inspirasi dan menjadi pengarang sesungguhnya. Para nabi, imam-imam dan penulis
kitab-kitab suci yang mungkin tidak pernah kita ketahui persis siapa hanyalah
pekerja-pekerja yang bahu-membahu membangun sebuah karya agung bernama Alkitab.
Jika sejarah menerima Raja Samaratungga sebagai pembangun Borobudur, Shah Jehan
sebagai pembangun Taj Mahal dan Gustave Eiffel sebagai pembuat menara Eiffel,
mengapa tidak mau menerima bahwa Tuhan sendirilah yang menjadi pengarang
Alkitab?
Tapi akan muncul sanggahan bahwa analogi serupa juga dapat
diterapkan pada Alquran: bukan Muhamat dan para pengikutnya yang mengarang Alquran
tapi Tuhan sendiri melalui malaikat Gabriel yang membisikkan segala sesuatu
yang harus dituliskan di Alquran.
Disini saya akan mengajak anda untuk melihat adanya unsur yang
terdapat dalam Alkitab yang tidak mampu dibuat oleh manusia, unsur seperti ini tidak
dimiliki oleh Alquran maupun kitab-kitab lainnya. Ini akan membedakan kitab
yang sungguh-sungguh otentik sebagai Kitab Suci dan kitab-kitab yang sekedar
diklaim sebagai kitab suci.
Sekarang perhatikanlah Alquran, fakta-fakta menunjukkan bahwa
Alquran hanyalah sebuah karya yang muncul pada satu jaman dan ditulis oleh satu
kelompok manusia. Tidak lebih dan tidak kurang.
Bandingkan dengan Alkitab yang terdiri dari kumpulan kitab-kitab
yang ditulis dalam jaman yang berbeda-beda oleh kelompok manusia yang berbeda-beda
namun keseluruhannya mampu menampilkan satu konsep dan visi yang utuh.
Kalau anda mau jujur dengan akal sehat anda, tentu anda akan
melihat perbedaan yang besar ini. Siapakah yang mampu memberi inspirasi
sedemikian rupa sehingga kitab-kitab yang ditulis pada jaman yang berbeda-beda
dan oleh orang yang berbeda-beda itu mampu memiliki satu kesatuan konsep dan
visi? Tak ada satupun manusia yang sanggup memiliki konsep dan visi yang
melampaui jaman semacam ini.
Bisa jadi Musa adalah penulis kitab-kitab Taurat, tapi dia tidak
pernah tahu bagaimana kitab-kitab Mazmur atau kitab-kitab nabi lain akan
menjadi satu kesatuan yang utuh dari apa yang pernah ditulisnya. Mungkin saja
Daud atau Salomo menuliskan kitab-kitabnya berdasarkan inspirasi yang diterima
dari hukum-hukum Taurat yang pernah ditulis Musa, tapi dia tidak bisa
mengontrol apa yang akan dituliskan pada kitab Daniel ataupun Yesaya. Apalagi
kalau kita bicara mengenai kitab-kitab Perjanjian Baru yang isinya sama sekali
di luar jangkauan para nabi dan penulis-penulis kitab Perjanjian Lama.
Max I. Dimont dalam bukunya “Desain Yahudi Atau Kehendak Tuhan”
mencoba melihat ini semua sebagai rancangan atau konspirasi bangsa Yahudi.
Mungkin hal ini benar jika Kitab Suci hanya berisi kitab-kitab Perjanjian Lama
saja. Dalam hal ini bisa jadi apa yang tertulis dalam kitab suci merupakan
hasil olahan sekelompok elit Yahudi yang secara konsisten menurunkan ide-ide
mereka secara turun-temurun di sepanjang sejarah Yahudi. Tapi dengan munculnya
Yesus sebagai Mesias yang menjadi penggenap dari ajaran-ajaran dan nubuat yang
ada dalam kitab Perjanjian Lama, teori ini tidak bisa dipertahankan lagi.
Kehadiran Yesus sebagai Mesias telah ditolak oleh bangsa Yahudi,
artinya secara jelas bangsa Yahudi telah mengatakan bahwa kehadiran Yesus
sebagai Mesias bukanlah rencana dan kehendak mereka. Tapi mengingat kehadiran
Yesus dari sudut pandang tertentu (kristianitas) merupakan penggenap dan
kelanjutan dari nubuat-nubuat kitab-kitab suci Yahudi, hal ini mengindikasikan
bahwa ada kuasa lain di luar manusia: Tuhan sendirilah yang telah merancang ini
semua. Jadi karya keselamatan sama sekali bukanlah ide-ide dan rekayasa bangsa
Yahudi. Hanya Tuhan yang mampu memberikan inspirasi secara konsisten melampaui
jaman melalui manusia yang berbeda-beda, dan inilah yang terekam dalam
keseluruhan Kitab Suci.
Saya juga ingin menambahkan lagi sifat Alkitab yang tidak
mungkin dibuat oleh manusia: apa yang terekam dalam Alkitab adalah sebuah
narasi besar yang dibentuk oleh sejarah manusia. Anda tentu tahu ‘James Bond’,
sebuah karakter fiktif ciptaan Ian Flemmings. Mungkin pada awalnya Ian
Flemmings sendiri yang menulis cerita-cerita James Bond, tapi cerita-cerita
James Bond selanjutnya bukan lagi karya Ian Flemmings. Ada penulis-penulis lain
yang melanjutkan idenya. Jadilah kisah-kisah James Bond menjadi kisah yang
abadi yang berpusat pada satu ide fiktif manusia. Tapi sebagus apapun kisah
itu, materi yang digunakan untuk membangun cerita James Bond sepenuhnya
bersifat fiktif, ada dalam dunia imajinasi dan manusia mampu merancangnya.
Mari kita lihat Alkitab. Keseluruhan Alkitab sesungguhnya adalah
sebuah narasi besar yang berpusat pada ide-ide karya keselamatan. Dan hebatnya
materi yang digunakan untuk membangun narasi besar ini bukanlah imajinasi TAPI
kenyataan sejarah. Abraham adalah manusia yang hadir dalam sejarah, Yusuf yang
membawa saudara-saudaranya ke Mesir adalah fakta sejarah, kisah keluarnya
bangsa Israel dibawah pimpinan Musa adalah fakta sejarah, Daud dan Salomo juga
manusia-manusia yang eksis dalam sejarah. Demikian juga Yesus Sang Mesias yang
disalibkan dan bangkit adalah suatu kenyataan sejarah.
Pertanyaan kritisnya: siapakah yang mampu membangun narasi besar
semacam ini dengan menggunakan sejarah manusia sebagai bahannya? Tidak ada satu
manusiapun yang sanggup menguasai dan mengendalikan jalannya sejarah. Dengan
demikian akal sehat akan membimbing kita untuk menerima fakta ini: Tuhan
sendirilah yang telah mengarang Kitab Suci dengan menggunakan sejarah manusia
sebagai (salah satu) bahannya dan para nabi serta penulis-penulis Kitab Suci
sebagai pekerja-pekerjaNya.
Keutuhan konsep dan visi dari karya-karya yang terbentuk pada
jaman yang berbeda-beda serta kemampuan menggunakan sejarah sebagai materi
untuk membentuk narasi besar adalah hal-hal yang tidak mampu dilakukan manusia
dan itu adalah unsur yang hanya mampu dibuat dan diadakan oleh Tuhan sendiri.
Ini semua hanya ada dalam Alkitab, tidak ada dalam kitab manapun di dunia ini
yang diklaim sebagai kitab suci. Dan manusia sampai kapanpun tidak pernah
sanggup menandinginya.
Konklusi
Akhirnya kita sampai pada konklusi sederhana. Saya sudah
menunjukkan dengan cara sederhana bahwa ada cara untuk membedakan mana kitab
suci yang sungguh-sungguh buatan Tuhan dan mana yang hanya diklaim sebagai
buatan Tuhan.
Dari apa yang telah saya paparkan maka saya bisa menunjukkan
bahwa dalam Alkitab sungguh-sungguh terdapat suatu unsur yang sama sekali tidak
akan mampu dibuat oleh manusia, suatu unsur-unsur yang hanya dapat dibuat dan
diselenggarakan oleh Tuhan sendiri. Ini menunjukkan superioritas Alkitab
dibandingkian dengan kitab-kitab suci lainnya, sekaligus menunjukan bahwa
Alkitab sungguh-sungguh kitab suci yang otentik dan berasal dari Tuhan sendiri.
Sebagai konsekwensinya, klaim Alquran sebagai kitab suci yang
berasal dari Tuhan samasekali tidak memiliki dasar kecuali klaimnya sendiri.
Dan memang inilah yang terjadi: kesucian Alquran diklaim oleh Muhamat dan
sebaliknya kenabian Muhamat diklaim oleh Alquran. Di luar dari klaim yang saling
bahu-membahu itu, sama sekali tidak ada dasar yang cukup untuk membenarkan
kenabian Muhamat dan kesucian Alquran. Pertanyaan kristisnya: jika Alquran
tidak bisa dibuktikan sebagai buatan Tuhan dan juga ditolak oleh kaum Muslim
sebagai karangan Muhamat, lalu buatan siapa?
Siapakah pendusta itu?
Bukankah dia yang menyangkal
bahwa Yesus adalah Kristus?
Dia itu adalah antikristus,
yaitu dia yang menyangkal
baik Bapa maupun Anak.
(1 Yoh. 2:22)
Tulisan ini adalah bagian terakhir dari seri ‘Islam Sebagai
Antitesis Agama’. Pada bagian pertama saya menjelaskan bagaimana Islam berupaya
mengacaukan rancangan keselamatan yang telah dibangun Tuhan sendiri tanpa
terputus dalam bentuk Agama Universal, yang dimulai sejak jaman Abraham hingga
hari ini (Paus Benediktus XVI). Lalu pada bagian kedua saya mencoba menunjukkan
bagaimana Alquran di hadapan kriteria obyektif bukanlah kitab suci yang berasal
dari Tuhan, sebaliknya kehadiran Alquran tidak lebih dari upaya untuk
menyesatkan manusia dari Kitab Suci yang sesungguhnya. Pada bagian ketiga saya
menunjukkan bagaimana Islam sebagai agama gagal menawarkan visi peradaban yang
ideal bagi manusia, bahkan dalam banyak hal ajaran-ajaran Islam justru memiliki
unsur-unsur yang merusak peradaban.
Tulisan-tulisan ini memang bernuansa anti-islam. Mengapa saya
melakukannya? Sebenarnya apa yang saya lakukan kurang lebih memiliki semangat
yang sama seperti yang dilakukan oleh St. John of Damascus (676 – 479), atau
juga Peter The Venerable (1092 – 1156) dalam tulisan-tulisan mereka tentang Islam.
Bagi saya tulisan-tulisan ini bukanlah ekspresi kebencian, sebaliknya ini
adalah sebuah ekspresi dari kecintaan saya pada kebenaran. Kalau anda mencintai
kebenaran, pada saat yang sama anda juga akan membenci ketidakbenaran atau
apapun yang melawan kebenaran (antitesis kebenaran). Tidak mungkin anda
mencintai kebenaran tapi bersikap setuju terhadap antitesisnya. Kecuali anda
seorang yang plin-plan, tidak punya pendirian, atau agak pengecut!
Agama-Agama Misioner
Sebenarnya diantara semua agama-agama di dunia, kedua agama ini:
kristianitas dan Islam, memiliki karakter khas yang sama yaitu agama yang
bersifat misioner. Tapi keduanya memiliki doktrin yang berbeda dalam mewujudkan
tujuannya.
Doktrin misioner Gereja dijiwai oleh ayat ini:
Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan
baptislah mereka dalam nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus. (Mat. 28:19)
Sementara itu doktrin misioner Islam dijiwai ayat ini:
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan
tidak (pula) kepada hari kemudian…sampai mereka membayar Jizyah dengan patuh
sedang mereka mereka dalam keadaan tunduk”. (Qur’an 9:29)
Silahkan cermati kedua ayat tersebut baik-baik… Yang satu
mengajak orang untuk mengenal Yesus dan menjadikanNya sebagai teladan hidup,
kemudian memberikan sarana keselamatan dalam rupa baptisan. Sedangkan yang
satunya, yaitu Islam, memisahkan manusia menjadi dua golongan: ‘beriman’ dan
‘tidak beriman/kafir’, lalu memerintahkan pihak ‘beriman’ untuk memerangi
‘kafir’ sampai mereka tunduk.
Tidak heran jika kedua agama ini memiliki kedua cara yang
berbeda juga dalam upaya-upaya misionernya. Hampir empat abad pertama
sejarahnya, Gereja perdana mampu menyebarkan ajaran Kristus sepenuhnya tanpa
bantuan kekuasaan. Meski abad-abad selanjutnya Gereja juga berkolaborasi dengan
kekuasaan, sejarah Gereja perdana menunjukkan bahwa kristianitas punya
kemampuan untuk menyebar tanpa bantuan kekuasaan duiniawi. Kekuasaan bukanlah
keharusan dalam karya misioner Gereja tetapi sekedar pilihan! Gereja punya
kemampuan dialogis dan juga inkulturatif dalam mewujudkan karya misionernya.
Sementara itu sejak awal sejarah Islam, penyebaran agama selalu
diikuti oleh tindakan ekspansi kekuasaan politik. Entah agama digunakan sebagai
alat kekuasaan atau sebaliknya kekuasaan dijadikan alat bagi penyebaran agama.
Yang jelas tak pernah ada masa yang cukup signifikan dimana Islam dapat
berkembang tanpa bantuan kekuasaan politik.
Bagi saya salah satu unsur yang membedakan keduanya (selain
doktrin-doktrin ajarannya) adalah soal teladan hidup. Bagi Gereja, Yesus
Kristus adalah teladan utama dan sempurna yang menjadi sumber inspirasi bagi
para pengikutNya. Menjadi ‘Saksi Kristus’ adalah tema utama dalam setiap karya
misioner Gereja.
Sebaliknya bagi Islam teladan terbaik yang tersedia mau tidak
mau harus Muhamat. Mengajukan kandidat lain sebagai teladan jelas sebuah
pelecehan dan penghujatan. Ironisnya Muhamat memiliki karakter yang kompleks,
disamping memiliki perbuatan baik yang mungkin cukup layak diteladani Muhamat
juga banyak melakukan perbuatan-perbuatan tidak terpuji seperti menzinahi
budak-budak, mengawini anak di bawah umur (6 tahun), membunuh, menjarah, dan
banyak lagi.
Karena ketiadaan teladan yang layak maka Islam mau tidak mau harus
disebarkan melalui propaganda (dakwah) yang hanya efektif jika didukung oleh
kekuasaan politik. Selanjutnya penerapan hukum-hukum Islam (syariah) juga
membutuhkan dukungan politik. Akibatnya Islam tidak pernah disebarkan murni
sebagai sistem religius, tapi juga sekaligus sistem politik. Tidak percaya?
Tantanglah kaum muslim untuk menyebarkan Islam tanpa bantuan kekuatan politik
(dalam berbagai bentuknya), sampai kiamat mereka tidak akan mampu!
Invasi Islam: Perang Jihad
Ketika St. John of Damascus menulis tentang Islam, dia melihat
Islam hanya sebagai bidaah yang cukup diatasi dengan cara membongkar
kekeliruannya. St. John of Damascus tidak mengira bahwa Islam adalah sebuah
agama baru yang sejak awal memang dirancang untuk menentang kristianitas dan peradaban
manusia. Memang Islam juga berasal dari keturunan Abraham dan percaya pada
nabi-nabi yang ada di Kitab Suci, tapi Islam tidak sungguh-sungguh berasal dari
agama Abraham! Islam bukan sekedar bidaah penerus semangat arianisme, Islam
adalah agama baru yang berbeda!
Sejak awal berdirinya Islam sudah berlumuran darah. Muhamat
sendiri memimpin tidak kurang dari 70 operasi peperangan atas nama penyebaran
Islam. Dan perang atas nama agama ini tidak berhenti dengan meninggalnya
Muhamat. Para pengikutnya dengan setia meneruskan semangat jihad ini untuk
melakukan invasi ke luar wilayah Arab. Ini adalah fakta sejarah yang tidak bisa
dipungkiri.
Memanfaatkan kelemahan kekaisaran Romawi Timur akibat konflik
internal dan peperangan dengan Persia selama bertahun-tahun, tentara-tentara
Islam terus melakukan jihad dengan menginvasi wilayah-wilayah yang pada awalnya
merupakan basis kekristenan. Termasuk juga kota suci Yerusalem, ketika patriark
Yerusalem St. Sophronios pada tahun 638 terpaksa harus menyerahkan kota suci
ini pada penguasaan muslim untuk menghindari bahaya kelaparan dan penghancuran
kota. Pada masa inilah Islam menodai kota suci Yerusalem dengan membangun
mesjid ‘Dome of Rock’ tepat di tengah-tengah Gunung Bait Allah (Yahweh’s Temple
Mount). Tindakan ini oleh St. Sophronios dianggap telah melanggar kesepakatan
sebelumnya sehingga dia berteriak-teriak dan meratap, “Sungguh ini sebuah
penghujatan dan perusakan yang dinubuatkan oleh Daniel!”
Tidak berhenti di situ saja, Islam terus melancarkan serangan
jihadnya untuk menguasai Mesir, Armenia, Afrika Utara, dan provinsi-provinsi
kekaisaran Rowawi Timur (Bizantium) . Bahkan pada tahun 711 tentara Islam
berhasil memasuki Spanyol. Setidaknya dua per tiga wilayah kekristenan dirampas
oleh keganasan jihad Islam. Seandainya Charles Martel dari Perancis tidak
berhasil mematahkan serangan tentara Islam dalam pertempuran di Tours pada
tahun 732, bukan mustahil seluruh Eropa akan berhasil ditaklukkan. Bahkan kota
Roma sendiri juga pernah mendapatkan ancaman tentara jihad, ketika tahun 827
mereka menyerang Sicilia dan Korsika, lalu berlanjut dengan upaya penyerangan
di sekitar kota Roma pada tahun 846.
Dari episode beberapa ratus tahun perang jihad ini sudah cukup
menjadi bukti bahwa Islam memang disebarkan melalui pedang. Muhamat boleh saja
tidak berhasil memberikan teladan untuk hidup, tapi dia sangat berhasil
memberikan teladan untuk mati: yaitu melancarkan jihad dengan imbalan surga
penuh bidadari. Inilah warisan terbesar Muhamat untuk umat manusia: kultur
kematian. Dan inilah wajah asli Islam yang sesungguhnya, yang entah mengapa
sekarang ingin dihilangkan atau ditutup-tutupi dengan mempropagandakan Islam
sebagai agama damai. Damai apanya?
Gereja Menentang Islam
Pada peperangan Manzikert, tahun 1071, Kekaisaran Bizantium
mengalami kekalahan yang serius. Paus Gregorius II berupaya membantu dengan
mengirimkan pasukan. Akan tetapi karena kekurangan dukungan, operasi ini tidak
berhasil. Baru pada tahun 1095, Paus Urbanus II di Konsili Clairmont menyerukan
upaya peperangan untuk mengambil alih kembali kota suci Yerusalem dari tangan
kaum muslim. Ajakan heroik ini kemudian disambut oleh para pendengarnya dengan
seruan: “Deus Vult”, atau “Tuhan menghendakinya!”
Ajakan Paus yang kemudian menyulut dimulainya Perang Salib
sebenarnya bukanlah seruan yang bersifat ofensif. Ini adalah tanggapan yang
sangat terlambat atas serangan dan invasi jihad Islam yang sudah berlangsung
berabad-abad sebelumnya. Meski Perang Salib I ini meraih sukses dan berhasil
merebut kembali Yerusalem, perang-perang salib berikutnya tidak. Sebagian besar
wilayah-wilayah kekristenan yang diinvasi Islam selama perang jihad seperti
Mesir, Siria, Turki dan Afrika Utara tidak pernah kembali lagi sampai sekarang.
Ini ongkos yang sangat mahal akibat terlambatnya tanggapan Gereja atas invasi
jihad Islam.
Bahkan Yerusalem hanya sanggup dikuasai selama 100 tahun dan
kemudian terlepas lagi selama berabad-abad. Sampai akhirnya pada tahun 1917
Jendral Allenby memasuki kota Jerusalem dan menyatakan ini sebagai akhir dari
Perang Salib, Yerusalempun terlepas dari tangan muslim sampai hari ini. Mungkin
Jendral Allenby tidak pernah menyadari bahwa sikapnya saat memasuki Yerusalem
yang seolah-olah menjadi akhir drama Perang Salib membuat sakit hati dan dendam
berkepanjangan di kalangan muslim karena dipaksa menerima keadaan sebagai pihak
yang kalah.
Belajar Dari Sejarah Dan Tanda-Tanda Jaman
Sekalipun beberapa tahun yang lalu Paus Yohanes Paulus II
menyatakan permintaan maaf atas segala kesalahan dan tindakan atas nama Gereja,
diantaranya selama Perang Salib, Inkuisisi, perang Katolik – Protestan, dan
lain-lain, tidak sedikitpun Paus meminta maaf atau menyesal atas Perang Salib
itu sendiri.
Dengan demikian Gereja menyadari bahwa tindakannya melawan
invasi jihad Islam dan penodaan kota suci Yerusalem adalah benar dan sudah
seharusnya. Apa yang digalang oleh Paus Urbanus II dan ditanggapi dengan penuh
antusias oleh raja-raja dan putra-putra terbaik Gereja bukanlah sebuah
kesalahan, itu adalah kehendak Tuhan: Deus Vult!
Dalam konteks jamannya, mungkin seruan itu bertujuan untuk
merebut kembali Yerusalem dan membantu Kekaisaran Bizantium merebut kembali
wilayahnya yang dikuasai Islam. Tapi membatasinya pada konteks itu akan membuat
kita gagal menangkap kehendak Tuhan dalam cakupan yang lebih luas!
Seruan perang Paus Urbanus II adalah sebuah pertanda pada
jamannya bahwa Tuhan tidak menghendaki Islam menguasai dunia. Tuhan tidak
menghendaki Islam menodai tempat-tempat suciNya! Tuhan tidak menghendaki Islam
menggantikan SabdaNya dengan Alquran. Tuhan tidak menghendaki Islam
menggantikan Agama Universal yang telah dibangunNya sendiri selama ribuan
tahun! Lebih jauh lagi, seruan Paus Urbanus II juga berarti bahwa Tuhan
menghendaki umatNya tidak tinggal diam menerima nasib, tapi melawan dengan
semangat yang suci didasari kecintaan pada Tuhan dan Gereja!
Seruan perang ini tidak pernah ditarik kembali, dengan demikian
semangatnya masih tetap hingga hari ini. Tapi perang ini tidak selalu berarti
dengan senjata dan kekerasan, tentunya perlu disesuaikan dengan konteks jaman.
Jika St. Bernard of Clairvaux memilih panggilan ini dengan mengangkat senjata,
pada saat yang sama Bl. Peter The Venerable memilih panggilan ini dengan cara
intelektual: “…aku menyerangmu bukan sebagaimana sebagian dari kami, dengan
senjata, tapi dengan kata-kata, bukan dengan kekuatan tapi dengan akal-budi,
bukan dengan kebencian tapi dengan kasih. Aku sungguh mengasihimu, dan aku
memang menulis kepadamu, aku mengajakmu pada keselamatan.”
Islam Agama Damai, Sebuah Topeng Yang Tidak Pas
Dalam konteks jaman sekarang cara yang ditempuh oleh Peter The
Venerable mungkin lebih sesuai untuk menanggapi panggilan Gereja yang diserukan
berabad-abad lalu. Tapi mungkin menjadi pertanyaan, apakah kita harus
menganggap Islam sebagai musuh yang harus diperangi dan dilawan? Sebenarnya
tidak juga! Jika bisa dilakukan dengan dialog dan saling pengertian mengapa
memilih jalan perang? Upaya untuk melakukan dialog dan menjadikan Islam sebagai
mitra dalam membangun peradaban manusia terus-menerus dilakukan Gereja, bahkan
sampai sekarang.
Tetapi hal itu tidak pernah mengubah kenyataan bahwa Islam
memang merupakan antitesis dari Gereja. Islam sejak awal berdirinya memang
bermaksud melawan Gereja dan seluruh ajarannya. Tak ada yang dapat mengubah
ini, bahkan para malaikat dari surga sekalipun! Sangat berbahaya memelihara
anak macan, suatu saat macan tersebut menjadi besar dan akan menerkam anda saat
merasa lapar! Demikian juga kurang bijaksana dan sia-sia mencoba percaya bahwa
Islam tidak memusuhi Gereja, karena secara alamiah Islam memang dirancang
sebagai antitesis dari Gereja!
Gereja punya wewenang untuk menafsirkan Sabda Tuhan dan
mengambil berbagai kebijakan sesuai konteks jaman, termasuk mencoba menerima
Islam sebagai mitra dalam membangun peradaban. Akan tetapi kita tidak boleh
lupa bahwa tidak ada orang Islam atau organisasi Islam yang bisa dan berhak
mengubah ajaran Islam. Jika sejak awal Islam memang dimaksudkan menjadi
antitesis Gereja, maka Islam akan tetap seperti itu sampai kapanpun!
Anda mungkin akan bertanya, ajaran Islam memang tidak berubah
tapi penafsirannya tentu bisa disesuaikan dalam konteks jaman dan orang-orang
Islam yang berniat baik dapat menafsirkannya untuk kebaikan manusia tanpa harus
bersikap memusuhi agama lain. Tapi masalahnya tidak ada penafsiran yang
bersifat resmi dan mengikat dalam Islam. Penafsiran yang bersahabat, moderat,
dan pluralis dari sebagian kecil kaum intelektual muslim hanyalah salah satu
dari sekian banyak penafsiran yang sama benarnya menurut Islam!
Akibatnya posisi golongan Islam moderat ini menjadi menjadi
sedikit unik. Penafsiran mereka tidak ditolak oleh golongan Islam yang lain,
tapi juga tidak didengarkan! Umumnya penafsiran Islam moderat ini tidak populer
dan tidak membumi. Penafsiran semacam ini hanya menjadi konsumsi kaum
intelektual dan pihak luar Islam. Jadilah Islam moderat sebagai juru bicara
atau PR yang sangat efektif menggambarkan Islam sebagai agama damai, sementara
rekan-rekannya dari golongan lain dengan tenang menyiapkan rencana serangan bom
bunuh diri dan rudal nuklir.
Menurut saya, dari pada golongan moderat ini sibuk membersihkan
citra buruk Islam dan berupaya menggambarkan Islam sebagai agama damai kepada
orang lain, jauh lebih baik mereka meyakinkan penafsiran moderat itu kepada teman-temannya
sendiri sesama muslim! Semoga dengan cara itu mereka bisa menjadikan dunia
lebih damai.
Dunia Menentang Islam
Upaya Gereja untuk membangun dialog yang konstruktif dan
bersahabat dengan Islam mencapai puncaknya pada jaman Paus Yohanes Paulus II.
Untuk pertama kalinya seorang Paus memasuki sebuah mesjid dengan rasa hormat
dan menyatakan Islam bersama Yahudi dan Kristen adalah ‘tiga anak-anak
Abraham’. Tapi segala upaya yang dilakukan sejauh ini tidak menghasilkan buah
yang sepadan, ‘kambing tidak juga berubah menjadi domba’. Upaya dialog hanya
berpengaruh pada golongan elit kaum moderat tapi di tingkat ‘grass-root’ wajah
Islam yang penuh kekerasan dan tidak toleran justru lebih alami, lebih mudah
diterima, dan lebih populer. Tidak heran jika tindakan teror dan kekerasan atas
nama Islam semakin menjadi fenomena umum.
Era wajah lemah-lembut Gereja kepada Islam mulai berubah menjadi
lebih tegas pada jaman Paus Benediktus XVI. Sebelumnya Paus Yohanes Paulus II
masih menyebut terorisme kaum fundamentalis berakar pada rasa ketidakadilan.
Tapi dengan mengutip perkataan Kaisar Manuel II Paleologus mengenai Muhamat
yang hanya membawa ‘kejahatan dan ketidakmanusiawian’ Paus Benediktus XVI
seolah mengisyaratkan bahwa akar kekerasan itu ada di dalam ajaran yang dibawa
Muhamat! Saya tidak menganggap ini sebuah kebetulan, dan meski Paus menyesali
kemarahan kaum muslim, dia tidak pernah menarik ucapannya!
Di atas telah saya singgung bahwa Islam memang diciptakan dan
dirancang sebagai antitesis dari Gereja dan seluruh ajarannya. Sebagai
konsekuensi lanjutannya, yang menjadi lawan Islam tidak hanya Gereja, tapi juga
seluruh dunia! Ketika Gereja berupaya membangun peradaban dan kultur kehidupan,
Islam dengan sikap intoleran dan kekerasan yang mengatasnamakan agama justru
berupaya menghancurkan peradaban dan membangun kultur kematian!
Bukan sebuah kebetulan jika seorang anggota parlemen Belanda
yang atheis bernama Geertz Wilders membuat sebuah film berjudul FITNA yang
isinya menunjukkan keterkaitan antara ajaran Islam dan tindakan-tindakan
kekerasan atas nama Islam! Di akhir film FITNA Geertz Wilder dengan singkat dan
tegas mengajak penontonnya untuk menyadari bahaya Islam dan menghentikan proses
islamisasi yang mulai melanda Eropa. Geertz Wilders tidak sedang menyerang
Islam, sebaliknya dia hanya berusaha mempertahankan kebebasan dan kedaulatannya
dari serangan Islam. Menyadari ini, selesai menonton film FITNA saya berteriak
(tentu saja dalam hati): Deus Vult!
Bagi saya ini juga sebuah tanda-tanda jaman. Dulu beberapa abad
yang lalu Paus Urbanus II menyerukan Perang Salib melawan Islam, selain itu
banyak orang suci seperti St. John of Damascus, St. Bernard of Clairvaux atau
juga Bl. Peter The Venerable yang sudah menyadarkan kita akan kekeliruan Islam.
Kini seorang atheis juga menyuarakan seruan yang senada untuk melawan Islam.
Dengan demikian Islam telah disadari sebagai musuh, tidak hanya oleh mereka
yang beragama tapi juga yang tidak beragama. Islam seolah menjadi musuh seluruh
kemanusiaan!
Lalu bagaimana kita menanggapi seruan ini? Tuhan jelas
menghendaki kita bangkit melawan, bukan diam dan tidak peduli. Tentu saja saya
tidak sedang menyarankan anda ikut latihan militer dan belajar merakit bom. Itu
bukan konteks yang tepat untuk saat ini dan akan membuat kita tidak berbeda
dengan apa yang kita lawan. Kita bisa mengikuti apa yang dilakukan Peter The
Venerable: dengan kata-kata, akal-budi, dan kasih! Bukan untuk menghancurkan
tapi untuk menyelamatkan.
Akan tetapi kita perlu belajar dari sejarah, apapun yang anda
lakukan tidak pernah dapat mengubah Islam itu sendiri. Dari awalnya Islam
memang diciptakan sebagai antitesis Agama Universal dan tidak mungkin berubah
sampai kapanpun. Yang bisa kita lakukan adalah membongar topeng Islam,
menunjukkan fakta wajah Islam yang sebenarnya dan sekaligus menunjukkan jalan
kebenaran yang sejati, yaitu Agama Universal yang telah diciptakan Tuhan bagi manusia
sejak jaman Abraham dan keberadaannya tidak pernah terputus sampai hari ini.
Meski ini tidak akan mengubah Islam, tapi mungkin akan mengubah pengikutnya.
Lebih dari itu sudah bukan wewenang kita lagi.